Selasa, 24 November 2009

yang sakit dan belum mandi wahahaha :DD



BOSAN=TIDAK SETIA ?

BOSAN .
sebenernya , apa sih bosan itu ?
bawaannya nggak enak banget tiap ketemu sama yang namanya bosan . soalnya , ini rasa nggak jelas banget. sedih enggak, marah juga enggak. nyrempet-nyrempet sama hampa deh kayaknya. eneg banget gitu deh di hati. kayak ada yang nyumbat, tapi nggak keliatan wujud sama bentuknya. jadi susah ngilanginnya. mau ngapa-ngapain juga nggak enak. makan nggak nafsu, nonton tivi makin bete, tidur juga guling-guling nggak jelas mulu, denger musik masuk kuping kanan keluar kuping kiri, baca buku juga nggak ngerti apa yang dibaca, mau main eh malesnya minta ampun. sebelas duabelas sama orang yang lagi patah hati kayaknya. serius. benci banget sama yang namanya bosan. padahal rasa ini kayak udah mengakar banget dalam diri aku. kayak udah bawaan lahir gitu. dikit-dikit main samber aja tuh si bosen nggak pake ketok pintu. apa aja bisa jadi korban. dimana saja dan kapan saja. jadi bingung gimana ngadepinnya. belum nemu cara ngatasinnya sampe sekarang.
eh tapi aku ada pertanyaan nih. emang rasa bosan bisa diidentikkan sama ketidaksetiaan ya ? kok kayaknya enggak adil banget. soalnya ya, kalo menurut aku, yang namanya bosen itu pada dasarnya nggak jelas sebab-musababnya. seperti yang aku bilang tadi, asal samber aja. jadi itu udah kayak program otomatis di dalem kepala. nggak perlu diperintah juga udah jalan sendiri. nah, kalo yang namanya enggak setia, ada banyak alesannya. salah satunya ya kalo orangnya bosenan itu tadi. tapi biasanya orang yang enggak setia itu emang dasarnya aja yang doyan cari sana-sini ga pake brenti(apa sih?). ya pokoknya gitu deh , jadi kesimpulannya, orang yang bosenan itu belom tentu enggak setia. mungkin aja si pembosan emang belom nemu yang pas tepat akurat aja. jadinya suka enggak bisa jalan lurus enggak meleng kanan-kiri atau brenti mendadak trus game over(ngebela diri haha). sedangkan si enggak setia, mungkin aja emang orang yang bosenan. tapi bukan berarti semua orang yang enggak setia itu pembosan lho yaa . intinya, jangan menyamakan pembosan sama enggak setia ! ntar aku damprat baru tau rasa(hahahaha sok sereeeem alay):p







CHEEEERS !
gracias :)

PHUU.KECIL

ASSIGNMENT ACCOMPLISHED :D

CERITA KARENINA

Aku sudah menginginkannya sejak pandangan pertama, sejak melihatnya di pemakaman ayahku. Dia berdiri di samping kakakku, memeluk bahunya yang bergetar, sambil membisikkan kata–kata yang membuat kakakku mengangguk–anggukkan kepalanya. Aku tahu dia sedang menghibur kakakku yang terus menangis sesenggukkan. Sedangkan aku yang berdiri di seberangnya, hanya bisa memandanginya tanpa ekspresi. Ini pertama kalinya aku menginginkan sesuatu milik kakakku. Ini pertama kalinya aku ingin merebut miliknya. Ini pertama kalinya.

***

Surat itu tergeletak begitu saja di meja ruang makan. Kata ibuku, surat itu untukku. Dia begitu bersemangat saat memberitahuku. Aku mengambilnya, merobek amplopnya, kemudian membacanya sekilas. Ternyata surat penerimaan mahasiswa dari universitas. Tahun ini aku memang akan memulai ’pekerjaanku’ sebagai mahasiswa. Tapi aku tidak terlalu bersemangat dengan hal itu, karena dengan menjadi mahasiswa aku harus pergi dari rumah, bahkan dari kota ini, untuk mulai kuliah di universitas yang diinginkan ibuku. Aku benci memikirkan tentang pergi dari rumah, karena dengan begitu aku tidak akan bisa melihatnya, melihat orang yang selama setahun ini masih memenuhi otakku, untuk waktu yang cukup lama .

***

Hari ini hari keberangkatanku ke kota asing itu. Ibuku, kakakku, dan dia ikut mengantarku ke bandara. Aku menangis dalam hati karena akan berpisah dengannya. Kakakku mengatakan bahwa dia akan sering–sering meneleponku dan ibuku berpesan agar jangan macam–macam di kota asing itu, karena aku hanya sendirian di sana. Kemudian mereka berdua bergantian memelukku. Bagiku itu semua hanya ritual perpisahan yang standar. Tetapi di saat–saat terakhir, orang itu mendekatiku, tersenyum sambil mengacak rambutku pelan, dan berkata ”Jangan nakal, anak manis .” Hanya dengan sebuah kalimat sederhana itu, dia sudah mampu membuatku gembira bukan main, dan berjanji dalam hati bahwa aku akan menjadi anak baik–baik di kota asing itu, demi dia .

***

Sudah tiga tahun, dan aku masih menginginkannya sebesar saat pertama kali melihatnya di pemakaman ayahku. Selama tiga tahun ini aku sama sekali tidak pernah melihatnya, apalagi berkomunikasi dengannya. Tidak sekalipun. Dia tidak ikut saat ibu dan kakakku datang menjengukku enam bulan sekali, dan aku tidak pula bertemu dengannya saat pulang ke rumah untuk mengobati rinduku kepada kampung halaman, terutama kepadanya. Ini menyiksaku, tentu saja. Karena sejujurnya hanya dialah alasanku bertahan di kota asing ini, berusaha menepati janjiku kepada diri sendiri untuk menjadi anak baik–baik yang tidak pernah membuat masalah. Hari–hariku sebagai seorang mahasiswi kedokteran aku lalui dengan selalu belajar keras, ikut kursus tambahan, masuk klub melukis dan fotografi, serta menjadi asisten dosen. Semua itu kulakukan agar saat aku bertemu dengannya, aku bisa melihat raut kebanggan di wajahnya. Aku sempat bertanya–tanya, apakah hubungannya dengan kakakku telah berakhir. Jika itu memang terjadi, di satu sisi aku akan merasa senang karena akhirnya dia ’bebas’, tetapi di sisi lain juga sedih karena itu berarti kesempatanku untuk bertemu dengannya akan semakin kecil, bahkan mendekati kata mustahil. Maka saat aku kembali pulang ke rumah saat liburan, dengan terpaksa aku bertanya kepada kakakku tentang dia, untuk memastikan dugaanku. Aku berlagak perhatian terhadap kelangsungan hubungan kakakku dengannya. Kakakku tersenyum mendengar pertanyaanku. Katanya, hubungan mereka baik–baik saja, bahkan nyaris sempurna untuknya. Tentang mengapa aku hampir tidak pernah melihatnya lagi, itu dikarenakan orang itu sedang sibuk mengurus perusahaan ayahnya yang berada di luar negeri. Dia akan berada di sana sampai akhir tahun ini. Hatiku mencelos mendengar penjelasan kakakku. Itu artinya sampai akhir tahun ini aku tidak bisa bertemu dengannya. Menyedihkan. Ini akan mengubah perasaanku padanya dari rindu menjadi khawatir dan frustasi. Hari itu juga aku memutuskan untuk tidak memperpanjang masa liburanku di rumah, dan segera kembali ke kota asingku untuk melewatkan hari–hari bebasku sendirian. Pikirku, untuk apa menghabiskan waktu di rumah bersama ibu dan kakak yang jarang kutemui, dan hanya bisa meringkuk di kamar sambil memikirkan orang yang berada ratusan kilometer jauhnya dariku?

***

Malam tahun baru yang dingin aku lewatkan sendirian di flat kecilku di kota asing ini. Mesin penjawab pesan teleponku terus–menerus berdering, menyampaikan ajakan makan malam dan pesta–pesta sederhana dari teman–teman kuliahku . Ada juga pesan bernada riang dari ibu dan kakakku, mengucapkan selamat tahun baru diselingi tiupan konyol terompet. Tetapi entah kenapa, aku sama sekali tidak bergairah untuk bersenang – senang malam ini. Aku hanya ingin sendirian, mendengarkan lagu–lagu lama yang aku putar dari piringan hitam, makan pizza, dan minum berkaleng–kaleng softdrink, serta melukis. Ya, malam ini aku ingin melukis wajahnya. Wajah yang selalu ingin kumiliki untuk diriku sendiri. Wajah yang ingin aku simpan untuk keegoisanku sendiri. Wajah yang berbentuk persegi, yang menonjolkan bentuk rahangnya yang tegas dan mengagumkan. Wajah yang dihiasi hidung mancung yang agak bengkok di bagian ujungnya. Wajah yang setiap tersenyum, akan memunculkan rona merah di kedua pipinya. Wajah itu, wajah seseorang milik kakakku. Saat melukis wajah itu, aku membayangkan diriku bersamanya, bercengkrama di bangku di sudut taman kota. Dia mengacak rambutku seperti saat di bandara waktu itu, dan mengatakan padaku tentang betapa manisnya aku saat sedang tertawa. Namun detik berikutnya, aku melihat kakakku dalam bayangan sempurnaku. Dia menghampiri kami dengan langkah–langkah ringan dan anggun, yang bagiku tampak memuakkan karena aku membenci tingkah gadis-lugu-dan-polos-yang-manis-dan-baik hati-nya itu. Kakakku menyapaku dan orang itu, kemudian tanpa rasa bersalah langsung menarik lengan orang itu sambil mengatakan bahwa mereka harus pergi untuk membeli gaun malamnya. Dalam bayanganku, orang itu tersenyum canggung padaku, tampak merasa bersalah. Aku hanya mematung. Dia pun berbalik dan pergi meninggalkanku, dengan kakakku bergelayut manja di lengannya. Sontak aku marah. Aku berteriak kesal dan mengacak–acak rambutku dengan frustasi. Aku menangis tertahan. Saat akhirnya tersadar, lukisan di hadapanku yang tadinya indah, telah berubah menjadi gambaran abstrak yang melambangkan perasaanku yang kacau dan berantakkan.

***

Teleponku berdering tepat pukul tujuh malam, saat aku sedang sibuk mengerjakan essay tentang vaksinasi yang bisa mengakibatkan kematian. Setengah hati aku beranjak meninggalkan tumpukkan buku–bukuku, dan begitu mendengar suara melengking kakakku di seberang, aku langsung menyesal telah mengangkat telepon itu. Kakakku menanyakan bagaimana kabarku, bicara panjang lebar tentang dia dan ibuku, dia dan orang itu, sampai kemudian terucaplah kalimat ”Kami akan menikah dua minggu lagi.” Refleks aku melepaskan gagang telepon yang semula menempel di telingaku. Aku tidak peduli dengan suara kakakku yang terdengar agak panik karena aku tidak menyahuti cerocosannya. Aku merosot ke lantai dengan perasaan terkejut bercampur kecewa dan marah. Tanpa ampun, berita itu menderaku dengan rasa sakit yang memukul–mukul bagian belakang kepalaku, membuat telingaku berdenging dan mataku berkunang–kunang. Aku merasa dadaku nyeri. Dan itu terjadi begitu saja : kilasan kenangan berputar acak dalam otakku, tidak beraturan, kadang cepat kadang lambat, dan semuanya tentang dia ...

Tersenyum dengan pipi merona ..

Mengulurkan tangan untuk mengacak rambutku ..

Memeluk bahu kakakku ..

Berbisik di telinganya ..

Berdiri di pemakaman ayahku ..

Ingatan–ingatan itu dengan cepat menyadarkanku , bahwa aku harus melakukan sesuatu. Sebelum semuanya terlambat, sebelum dia menjadi milik kakakku untuk selamanya ...

***

Kepulanganku kali ini ditanggapi dengan agak berlebihan oleh ibu dan kakakku. Mereka menjemputku di bandara, memaksa membawakan kopor–koporku, dan bahkan menyiapkan semacam pesta penyambutan ketika aku tiba di rumah. Tetapi aku membenci bagian tentang cerita–cerita rencana pernikahan yang tidak bosan-bosannya diocehkan oleh mereka berdua. Dengan susah payah aku berpura–pura menyukai semua ini, dan tampaknya usahaku cukup berhasil karena mereka makin memanjakanku untuk waktu yang cukup lama.

Karena aku bukan tipe orang yang senang menunda–nunda pekerjaan , maka aku segera memulai apa yang telah aku rencanakan hanya sehari setelah aku tiba di rumah. Aku memaksa ibuku untuk mengkonsumsi vitamin yang telah aku racik sendiri, kemudian aku mengatakan kepada ibuku kalau malam ini aku ingin tidur dengannya, karena aku kangen sekali padanya. Tidak mengejutkan kalau ternyata ibuku langsung mengabulkan permintaanku tanpa banyak bertanya, mengingat perlakuan istimewanya terhadapku sejak kepulanganku. Ini sangat melegakan untukku, karena sejujurnya aku sudah siap dengan rencana cadangan jika bujukanku tidak berhasil dengan baik. Sambil menunjukkan senyum termanis yang aku miliki, aku mengucapkan terimakasih banyak pada ibuku.

***

Pukul dua belas malam. Aku masih terjaga di samping ibuku, mengawasi irama nafasnya yang lambat dan teratur. Tampaknya dia sudah tidur nyenyak. Untuk memastikannya, aku mencoba mengusiknya dengan membuat suara–suara berdengung, tetapi ibuku tetap tidak bergeming . Itu artinya dia memang benar– benar sudah terlelap. Dengan cepat aku mengeluarkan benda itu dari saku piyamaku. Aku memosisikannya sampai sejajar dengan mataku agar bisa melihanya dengan lebih jelas, kemudian menekan bagian pangkalnya dan menjentikkan bagian ujungnya. Semua beres. Aku memang sudah terbiasa melakukan ritual ini di kampus. Setelah itu, dengan perlahan aku menyingkap lengan gaun tidur ibuku, dan dengan gerakan secepat kilat aku menyuntikkan benda itu tepat di bagian atas lengannya. Sesuai perkiraanku, ibuku sama sekali tidak bereaksi atas tindakanku . Jangankan membuka mata, dia bahkan sama sekali tidak bergerak sesentipun. Nafasnya yang semula teratur, makin lama makin melambat. Dan sekitar tiga menit kemudian, nafasnya berhenti. Dengan hati–hati aku mengecek detak jantung dan denyut nadinya. Bagus. Semua sudah tidak berfungsi. Aku tersenyum. Inilah yang aku inginkan. Melihat ibuku mati tanpa rasa sakit demi aku. Aku berjanji dalam hati akan berdandan secantik mungkin untuk menyambut hari esok, ketika mereka menemukan mayat ibuku dan menyimpulkan bahwa penyebab kematiannya adalah kelebihan dosis vitamin.

***

Dia berdiri di samping kakakku, memeluk bahunya yang bergetar, sambil membisikkan kata–kata yang membuat kakakku mengangguk–anggukkan kepalanya. Aku tahu dia sedang menghibur kakakku yang terus menangis sesenggukkan. Sedangkan aku, yang berlindung di bawah naungan payung hitam di seberangnya, tak bisa berhenti memandanginya dengan perasaan bahagia tak terlukiskan. Hari ini adalah hari terindah dalam hidupku. Hari di mana aku akhirnya bisa bertemu lagi dengan pangeranku setelah penantian panjang yang menyiksa selama hampir empat tahun. Aku menyeringai lebar kemudian menoleh memandang nisan yang tanahnya masih basah di hadapanku. ”Terimakasih telah mengabulkan permintaan terakhir Karenina , Ibu ...” ucapku lirih.

Minggu, 22 November 2009

UNTITLED 1

minggu pagi .
nothing special .
saya sebenarnya ingin bermain kata-kata , tapi mood sedang tidak mendukung . jadilah saya menulis lirik lagu favorit saya saja :)

I'm five years old
It's getting cold
I've got
A big coat
on

I hear your laugh
And look up smiling at you
And run and run

At the pumpkin patch
The tractor rolls on
The sky is gold
I hug your legs and fall asleep
The whole way home

I don't know why all the trees change in the fall
I know that you're not scared of anything at all
Don't know if Snow White's house is near or far away
But I know that I had the best day
With you today

I'm thirteen now
And don't know how my friends
Could be so mean

I come crying
You hold me tight
And grab the keys

And you drive and drive
Until we've found a town
Far enough away

And we talk and window-shop
Until I've forgotten all their names

I don't know who I'm gonna talk to
Now at school
I know I'm laughing on the car ride home with you
Don't know how long it's gonna take to feel okay
But I know I had the best day
With you today

I have an excellent father
His strength is making me stronger
God smiles on my little brother
Inside and out
He's better than nothing

I grew up in a pretty house
And I had space to run
And I had the best days with you

There is a video
I found from back when I was three
You set up a paint set in the kitchen
And you're talking to me

It's the edge of princesses and pirate ships
And the seven dwarves
Daddy's smart
And you're the prettiest lady in the whole wide world

Now I know why all the trees change in the fall
And you were on my side
Even when I was wrong
And I love you for giving me your eyes
Staying back and watching me shine

And I didn't know if you knew
So I'm taking this chance to say
That I had the best day
With you today

Taylor Swift - The Best Day