Selasa, 24 November 2009

CERITA KARENINA

Aku sudah menginginkannya sejak pandangan pertama, sejak melihatnya di pemakaman ayahku. Dia berdiri di samping kakakku, memeluk bahunya yang bergetar, sambil membisikkan kata–kata yang membuat kakakku mengangguk–anggukkan kepalanya. Aku tahu dia sedang menghibur kakakku yang terus menangis sesenggukkan. Sedangkan aku yang berdiri di seberangnya, hanya bisa memandanginya tanpa ekspresi. Ini pertama kalinya aku menginginkan sesuatu milik kakakku. Ini pertama kalinya aku ingin merebut miliknya. Ini pertama kalinya.

***

Surat itu tergeletak begitu saja di meja ruang makan. Kata ibuku, surat itu untukku. Dia begitu bersemangat saat memberitahuku. Aku mengambilnya, merobek amplopnya, kemudian membacanya sekilas. Ternyata surat penerimaan mahasiswa dari universitas. Tahun ini aku memang akan memulai ’pekerjaanku’ sebagai mahasiswa. Tapi aku tidak terlalu bersemangat dengan hal itu, karena dengan menjadi mahasiswa aku harus pergi dari rumah, bahkan dari kota ini, untuk mulai kuliah di universitas yang diinginkan ibuku. Aku benci memikirkan tentang pergi dari rumah, karena dengan begitu aku tidak akan bisa melihatnya, melihat orang yang selama setahun ini masih memenuhi otakku, untuk waktu yang cukup lama .

***

Hari ini hari keberangkatanku ke kota asing itu. Ibuku, kakakku, dan dia ikut mengantarku ke bandara. Aku menangis dalam hati karena akan berpisah dengannya. Kakakku mengatakan bahwa dia akan sering–sering meneleponku dan ibuku berpesan agar jangan macam–macam di kota asing itu, karena aku hanya sendirian di sana. Kemudian mereka berdua bergantian memelukku. Bagiku itu semua hanya ritual perpisahan yang standar. Tetapi di saat–saat terakhir, orang itu mendekatiku, tersenyum sambil mengacak rambutku pelan, dan berkata ”Jangan nakal, anak manis .” Hanya dengan sebuah kalimat sederhana itu, dia sudah mampu membuatku gembira bukan main, dan berjanji dalam hati bahwa aku akan menjadi anak baik–baik di kota asing itu, demi dia .

***

Sudah tiga tahun, dan aku masih menginginkannya sebesar saat pertama kali melihatnya di pemakaman ayahku. Selama tiga tahun ini aku sama sekali tidak pernah melihatnya, apalagi berkomunikasi dengannya. Tidak sekalipun. Dia tidak ikut saat ibu dan kakakku datang menjengukku enam bulan sekali, dan aku tidak pula bertemu dengannya saat pulang ke rumah untuk mengobati rinduku kepada kampung halaman, terutama kepadanya. Ini menyiksaku, tentu saja. Karena sejujurnya hanya dialah alasanku bertahan di kota asing ini, berusaha menepati janjiku kepada diri sendiri untuk menjadi anak baik–baik yang tidak pernah membuat masalah. Hari–hariku sebagai seorang mahasiswi kedokteran aku lalui dengan selalu belajar keras, ikut kursus tambahan, masuk klub melukis dan fotografi, serta menjadi asisten dosen. Semua itu kulakukan agar saat aku bertemu dengannya, aku bisa melihat raut kebanggan di wajahnya. Aku sempat bertanya–tanya, apakah hubungannya dengan kakakku telah berakhir. Jika itu memang terjadi, di satu sisi aku akan merasa senang karena akhirnya dia ’bebas’, tetapi di sisi lain juga sedih karena itu berarti kesempatanku untuk bertemu dengannya akan semakin kecil, bahkan mendekati kata mustahil. Maka saat aku kembali pulang ke rumah saat liburan, dengan terpaksa aku bertanya kepada kakakku tentang dia, untuk memastikan dugaanku. Aku berlagak perhatian terhadap kelangsungan hubungan kakakku dengannya. Kakakku tersenyum mendengar pertanyaanku. Katanya, hubungan mereka baik–baik saja, bahkan nyaris sempurna untuknya. Tentang mengapa aku hampir tidak pernah melihatnya lagi, itu dikarenakan orang itu sedang sibuk mengurus perusahaan ayahnya yang berada di luar negeri. Dia akan berada di sana sampai akhir tahun ini. Hatiku mencelos mendengar penjelasan kakakku. Itu artinya sampai akhir tahun ini aku tidak bisa bertemu dengannya. Menyedihkan. Ini akan mengubah perasaanku padanya dari rindu menjadi khawatir dan frustasi. Hari itu juga aku memutuskan untuk tidak memperpanjang masa liburanku di rumah, dan segera kembali ke kota asingku untuk melewatkan hari–hari bebasku sendirian. Pikirku, untuk apa menghabiskan waktu di rumah bersama ibu dan kakak yang jarang kutemui, dan hanya bisa meringkuk di kamar sambil memikirkan orang yang berada ratusan kilometer jauhnya dariku?

***

Malam tahun baru yang dingin aku lewatkan sendirian di flat kecilku di kota asing ini. Mesin penjawab pesan teleponku terus–menerus berdering, menyampaikan ajakan makan malam dan pesta–pesta sederhana dari teman–teman kuliahku . Ada juga pesan bernada riang dari ibu dan kakakku, mengucapkan selamat tahun baru diselingi tiupan konyol terompet. Tetapi entah kenapa, aku sama sekali tidak bergairah untuk bersenang – senang malam ini. Aku hanya ingin sendirian, mendengarkan lagu–lagu lama yang aku putar dari piringan hitam, makan pizza, dan minum berkaleng–kaleng softdrink, serta melukis. Ya, malam ini aku ingin melukis wajahnya. Wajah yang selalu ingin kumiliki untuk diriku sendiri. Wajah yang ingin aku simpan untuk keegoisanku sendiri. Wajah yang berbentuk persegi, yang menonjolkan bentuk rahangnya yang tegas dan mengagumkan. Wajah yang dihiasi hidung mancung yang agak bengkok di bagian ujungnya. Wajah yang setiap tersenyum, akan memunculkan rona merah di kedua pipinya. Wajah itu, wajah seseorang milik kakakku. Saat melukis wajah itu, aku membayangkan diriku bersamanya, bercengkrama di bangku di sudut taman kota. Dia mengacak rambutku seperti saat di bandara waktu itu, dan mengatakan padaku tentang betapa manisnya aku saat sedang tertawa. Namun detik berikutnya, aku melihat kakakku dalam bayangan sempurnaku. Dia menghampiri kami dengan langkah–langkah ringan dan anggun, yang bagiku tampak memuakkan karena aku membenci tingkah gadis-lugu-dan-polos-yang-manis-dan-baik hati-nya itu. Kakakku menyapaku dan orang itu, kemudian tanpa rasa bersalah langsung menarik lengan orang itu sambil mengatakan bahwa mereka harus pergi untuk membeli gaun malamnya. Dalam bayanganku, orang itu tersenyum canggung padaku, tampak merasa bersalah. Aku hanya mematung. Dia pun berbalik dan pergi meninggalkanku, dengan kakakku bergelayut manja di lengannya. Sontak aku marah. Aku berteriak kesal dan mengacak–acak rambutku dengan frustasi. Aku menangis tertahan. Saat akhirnya tersadar, lukisan di hadapanku yang tadinya indah, telah berubah menjadi gambaran abstrak yang melambangkan perasaanku yang kacau dan berantakkan.

***

Teleponku berdering tepat pukul tujuh malam, saat aku sedang sibuk mengerjakan essay tentang vaksinasi yang bisa mengakibatkan kematian. Setengah hati aku beranjak meninggalkan tumpukkan buku–bukuku, dan begitu mendengar suara melengking kakakku di seberang, aku langsung menyesal telah mengangkat telepon itu. Kakakku menanyakan bagaimana kabarku, bicara panjang lebar tentang dia dan ibuku, dia dan orang itu, sampai kemudian terucaplah kalimat ”Kami akan menikah dua minggu lagi.” Refleks aku melepaskan gagang telepon yang semula menempel di telingaku. Aku tidak peduli dengan suara kakakku yang terdengar agak panik karena aku tidak menyahuti cerocosannya. Aku merosot ke lantai dengan perasaan terkejut bercampur kecewa dan marah. Tanpa ampun, berita itu menderaku dengan rasa sakit yang memukul–mukul bagian belakang kepalaku, membuat telingaku berdenging dan mataku berkunang–kunang. Aku merasa dadaku nyeri. Dan itu terjadi begitu saja : kilasan kenangan berputar acak dalam otakku, tidak beraturan, kadang cepat kadang lambat, dan semuanya tentang dia ...

Tersenyum dengan pipi merona ..

Mengulurkan tangan untuk mengacak rambutku ..

Memeluk bahu kakakku ..

Berbisik di telinganya ..

Berdiri di pemakaman ayahku ..

Ingatan–ingatan itu dengan cepat menyadarkanku , bahwa aku harus melakukan sesuatu. Sebelum semuanya terlambat, sebelum dia menjadi milik kakakku untuk selamanya ...

***

Kepulanganku kali ini ditanggapi dengan agak berlebihan oleh ibu dan kakakku. Mereka menjemputku di bandara, memaksa membawakan kopor–koporku, dan bahkan menyiapkan semacam pesta penyambutan ketika aku tiba di rumah. Tetapi aku membenci bagian tentang cerita–cerita rencana pernikahan yang tidak bosan-bosannya diocehkan oleh mereka berdua. Dengan susah payah aku berpura–pura menyukai semua ini, dan tampaknya usahaku cukup berhasil karena mereka makin memanjakanku untuk waktu yang cukup lama.

Karena aku bukan tipe orang yang senang menunda–nunda pekerjaan , maka aku segera memulai apa yang telah aku rencanakan hanya sehari setelah aku tiba di rumah. Aku memaksa ibuku untuk mengkonsumsi vitamin yang telah aku racik sendiri, kemudian aku mengatakan kepada ibuku kalau malam ini aku ingin tidur dengannya, karena aku kangen sekali padanya. Tidak mengejutkan kalau ternyata ibuku langsung mengabulkan permintaanku tanpa banyak bertanya, mengingat perlakuan istimewanya terhadapku sejak kepulanganku. Ini sangat melegakan untukku, karena sejujurnya aku sudah siap dengan rencana cadangan jika bujukanku tidak berhasil dengan baik. Sambil menunjukkan senyum termanis yang aku miliki, aku mengucapkan terimakasih banyak pada ibuku.

***

Pukul dua belas malam. Aku masih terjaga di samping ibuku, mengawasi irama nafasnya yang lambat dan teratur. Tampaknya dia sudah tidur nyenyak. Untuk memastikannya, aku mencoba mengusiknya dengan membuat suara–suara berdengung, tetapi ibuku tetap tidak bergeming . Itu artinya dia memang benar– benar sudah terlelap. Dengan cepat aku mengeluarkan benda itu dari saku piyamaku. Aku memosisikannya sampai sejajar dengan mataku agar bisa melihanya dengan lebih jelas, kemudian menekan bagian pangkalnya dan menjentikkan bagian ujungnya. Semua beres. Aku memang sudah terbiasa melakukan ritual ini di kampus. Setelah itu, dengan perlahan aku menyingkap lengan gaun tidur ibuku, dan dengan gerakan secepat kilat aku menyuntikkan benda itu tepat di bagian atas lengannya. Sesuai perkiraanku, ibuku sama sekali tidak bereaksi atas tindakanku . Jangankan membuka mata, dia bahkan sama sekali tidak bergerak sesentipun. Nafasnya yang semula teratur, makin lama makin melambat. Dan sekitar tiga menit kemudian, nafasnya berhenti. Dengan hati–hati aku mengecek detak jantung dan denyut nadinya. Bagus. Semua sudah tidak berfungsi. Aku tersenyum. Inilah yang aku inginkan. Melihat ibuku mati tanpa rasa sakit demi aku. Aku berjanji dalam hati akan berdandan secantik mungkin untuk menyambut hari esok, ketika mereka menemukan mayat ibuku dan menyimpulkan bahwa penyebab kematiannya adalah kelebihan dosis vitamin.

***

Dia berdiri di samping kakakku, memeluk bahunya yang bergetar, sambil membisikkan kata–kata yang membuat kakakku mengangguk–anggukkan kepalanya. Aku tahu dia sedang menghibur kakakku yang terus menangis sesenggukkan. Sedangkan aku, yang berlindung di bawah naungan payung hitam di seberangnya, tak bisa berhenti memandanginya dengan perasaan bahagia tak terlukiskan. Hari ini adalah hari terindah dalam hidupku. Hari di mana aku akhirnya bisa bertemu lagi dengan pangeranku setelah penantian panjang yang menyiksa selama hampir empat tahun. Aku menyeringai lebar kemudian menoleh memandang nisan yang tanahnya masih basah di hadapanku. ”Terimakasih telah mengabulkan permintaan terakhir Karenina , Ibu ...” ucapku lirih.

1 komentar: